Senin, Januari 26, 2009

Eksotika Pantai NGOBARAN

In Memoriam : Bambang my “Bemby”


Outbond di Ngobaran
Bem, tiap kukunjungi Ngobaran, pasti aku teringat Acara Outbond keluarga besar kita, Pasca Lebaran, 25 Nop 2008 kemarin. Outbond yang membuat semua peserta termasuk diriku dan anak-anakku amat sangat happy. Semua merasa terkesan dan menyukai acara itu termasuk dirimu. Walau diam-diam kau ternyata menahan rasa sakitmu. Sepanjang perjalanan menuju lokasi, hingga perjalanan pulang setelah kita menginap berkemah di tepian pantai yang indah itu, kau banyak terdiam, tidak seperti biasanya, centil. Tak ada yang menyangka, termasuk engkau, bahwa saat itu penyakit ganas itu diam-diam telah menyerangmu membabi buta selama bertahun-tahun tanpa kau sadari. Kita bermain pasir pantai, saling guyur, kejar-kejaran, makan ikan bakar-goreng, sambal dinamit, sayur lodeh, main game dan menikmati pemandangan di sana sepuasnya dari siang hingga esok paginya.


The Silent Killer
Kanker. Ya, kanker hati stadium tinggi, sudah lanjut. Ternyata penyakit itulah yang mengganggumu. Para dokter sudah tak sanggup atasi. Namun demikian, kita waktu itu sepakat untuk tidak menyerah begitu saja pada kata dokter. Kusampaikan padamu bahwa kita punya persamaan, yaitu “ndableg”: semaunya sendiri, sulit diatur, dan sulit mendengar atau menerima begitu saja kata-kata orang lain.
“Baiklah, kita akui bahwa kita selama ini telah sering membuat orang lain kesal dengan ke-‘ndableg”-an kita. Tapi sekaranglah saatnya kita manfaatkan ke-“ndableg”an itu untuk hal positif. Kita bersama atasi penyakit ini. Kita kuatkan tekad kita untuk tak mau menyerah kata dokter atau siapapun, kecuali mencari upaya penyembuhan dengan segala cara yang kita bisa.” Begitulah caraku memotivasi, menggunakan momentum ini dengan memanfaatkan semua potensi pribadi untuk hal positif.
Kulihat kau menangis. Ya, kita menangis berdua di sepanjang jalan sepulang dari RS setelah mendengar vonis dokter barusan.
Kusampaikan padamu, “mBang, aku tak mau kau menyerah. Kanker hanyalah penyakit. Kita punya hak untuk mempertahankan hidup kita melawan penyakit. Mulai saat ini, kita tekadkan untuk melakukan terapi secara menyeluruh. Setiap yang kau makan atau kau minum adalah terapi. Tiap yang kita lakukan dalam keseharian hidup kita sebenarnya adalah terapi. Bahkan cara berpikir kita juga terapi. Kita harus ubah dan atur semua dari sekarang. Kau yakin, mBang?”
Kurasakan semangat hidupmu tiba-tiba menjadi demikian tinggi setelah kau sempat terpukul beberapa saat lalu. Hari-hari sesudahnya, perut yang menggembung itu pun tak menyurutkan tekadmu untuk menyantap semua makanan, obat dan minuman yang disediakan untukmu. Kau tahan sakitmu tiap memasukkan makanan karena dadamu akan terasa sesak, sulit bernafas. Dan yang kita lakukan kemudian adalah atasi rasa sakit itu dengan terapi bersama. Tidak ada obat dokter. Semua herba. Tidak ada bahan makanan artificial yang boleh masuk ke perutmu. Semua makanan dan minuman harus alami. Dibarengi dengan terapi herba dari temanku, mas Damai, dan Kunir Putih, juga minyak Buah Merah dari pak Amin, VCO, Susu Kedelai, Jus, dan segala macam bahan herba berkhasiat kita coba atur untuk dapat masuk ke perutmu. Teman-temanmu dengan sukarela bergiliran memasakkan makanan, ubi dihaluskan, kentang, bubur. Kurasakan semangat mereka dalam melayanimu. Mereka juga bergiliran menemanimu tidur di malam hari. Semua dilakukan dengan cinta. Seperti yang telah kau lakukan selama ini kepada kami.

Jika datang sakitmu, bukan hanya di siang hari, malam hari pun kuminta kau untuk langsung menghubungiku jika rasa sakit itu menderamu. Sungguh Bem, kuingin ada yang bisa kulakukan di saat-saat itu, masa tersulitmu. Namun jika aku tak kuat menahan perasaanku, maafkan aku jika diam-diam kutinggalkan dirimu beberapa saat untuk kutumpahkan tangisku tidak di depanmu. Lalu setelah tangisku mereda dan hatiku siap, barulah ku sanggup menemuimu lagi.

Bem, aku memang bukan ibumu, bukan saudara sedarah, bukan pula pasangan hidupmu. Aku tak punya hak lebih untuk menahanmu tinggal bersama kami disini. Kita dikumpulkan di sini karena mata pencaharian kita. Tetapi dengan sepenuh hati kubilang padamu bahwa aku mau kau habiskan hari-hari di saat sakitmu ini bersama kami. Kau juga berkata demikian. Kau bilang sebenarnya kau ingin tinggal disini. Namun, ada kenyataan yang musti kita terima, bahwa masih banyak lagi orang yang mencintaimu untuk mendapat kesempatan dan hak lebih besar dalam merawatmu. Itulah keluargamu: Ayah, Simbah, Bu Lik, Ade, dan keluargamu di sana. Kau dijemput keluargamu untuk dirawat di kampung halamanmu, Blora. Walau sepenuh daya dan alasan yang mungkin ku berusaha menahanmu untuk tinggal disini barang beberapa hari lagi, namun dalam hatiku, kuharus menerima dan menyambut baik kedatangan keluargamu. Kukuatkan hatimu bahwa kita hanya berpisah dalam jangkauan jarak. Namun aku berjanji akan selalu kirimkan dari sini apapun yang bisa kuberikan. Dan saat kau pergi tinggalkan kami, semua orang disini menangis seperti menangisimu yang takkan kembali.

Demikianlah akhirnya yang terjadi. Saat kudengar kabar tentang kondisimu yang terburuk beberapa minggu kemudian, aku makin tak kuasa menahan perasaanku. Hanya beberapa jam kau tak sadarkan diri, dan sejurus kemudian kabar kepergianmu seperti bom waktu yang meletus di dada kami. Aku tercenung dan masih sulit untuk mempercayai bahwa kau telah pergi tinggalkan kami, menyusul ibundamu yang meninggal dengan penyakit yang sama. Rasanya terlalu cepat. Sangat mengagetkan. 18 Desember 2008, bersamaan dengan genap 2 tahun meninggalnya Ibuku. Dua orang yang kucintai meninggal pada tanggal yang sama…
Namun aku tahu dan yakin kini, bahwa kau masih berada di antara kami dan mendengar serta melihat semuanya. Karena sosokmu tetap ada disini. Di hatiku. (Bahkan alat mandimu tetap kusimpan hingga kini, masih ada di kamar yang terakhir kali kau tinggali ini…)



Flash Back: Pertemuan Pertama Kita
Masih kuingat saat pertama kali kita bertemu, Juli 2005. Kau datang sebagai salah-satu pelamar, calon Juru Masak. Lalu kami lihat kau demo memasak di depan kami. Aku masih ingat yang kau buat waktu itu Bem, Ayam Bakar Bumbu Rujak dan Sayur Asem. Aku telah jatuh cinta padamu saat pertemuan pertama. Caramu memasak Bem, lain… Kau melakukannya dengan sepenuh hati, dengan cinta. Itu yang tak dimiliki oleh sembarang orang. Itulah yang membuatmu Juara. Lalu kau pun seketika itu pula dinyatakan diterima bekerja disini hingga penyakit itu merenggutmu.
Tahukah kau, kenapa kepergianmu amat mengguncangkanku? Karena cinta. Cinta ini terasa amat tulus, bukan bersama dengan nafsu, Bem. Ini beda rasanya. Seperti Ibu ke anaknya, seperti Kakak ke Adiknya, seperti dua orang yang seakan pernah disatukan di suatu masa dan tempat yang berbeda dari sekarang.

Penampilanmu yang kemayu, dengan fisik lelaki, unik; tak aral memang membuatmu menyedot perhatian kami. Tapi sungguh, cara mereka memperhatikanmu tak sama dengan yang kurasakan. Sikap orang-orang itu kadang membuatku gemas dan ingin berontak, karena sering melecehkanmu. Dan tahukah kau juga, bahwa sehari sebelum kau masuk kerja, kukumpulkan semua karyawan terutama yang laki-laki bahwa akan datang seorang yang berbeda dengan mereka semua. Aku sempat setengah mengancam kepada mereka, kubilang, jika ada siapapun yang mencoba melecehkanmu, maka dia akan langsung berhadapan denganku. – Setelah kupikir-pikir, ku sempat agak heran juga, tiba-tiba aku jadi merasa Heroik membela dan ingin melindungimu, walau aku perempuan. Sedang kau laki-laki. Tetapi senyatanya hal ini kulakukan bukan karena laki-laki atau perempuan, Bem. Aku amat membenci tindakan-tindakan pelecehan, apalagi dilakukan di lingkungan kita. Keadaan dan penampilanmu yang berbeda memang rawan dilecehkan. Namun ku salut padamu karena mentalmu begitu tegar dan terlatih menghadapi pelecahan itu bahkan sejak kau masih kecil.

Laki-Laki vs Perempuan
Menjadi laki-laki yang kemayu bukan hal mudah. Aku tak mau memperdebatkan persoalan ini secara normatif, karena akan panjang dan begitu-begitu saja. Kuingin ada wacana solusi untuk orang-orang yang mengalami nasib sepertimu. Maka ketika kudapat info tentang Waria yang membuat otbiografi, serta-merta kucari bukunya, kubaca dan kuhadiahkan padamu untuk menguatkanmu bahwa kita akan dapat menempuh kehidupan yang lebih baik bukan karena seseorang dilahirkan sebagai lak-laki, sebagai perempuan, atau di tengah tengahnya karena alasan psikologis yang bermacam ragam. Judul bukunya, “ Jangan Lepas Jilbabku”, karangan Suniyya, alumnus Sosiologi UGM Angkatan 2000.
Kau sambut buku itu dengan penuh antusias. Dan saking antusiasnya, esok harinya kau langsung kenakan kerudung. Sontak anak-anak lain kaget dan geli karena perubahan yang mengagetkan dan tiba-tiba itu. Aku pun diingatkan oleh Abah, bahwa apapun resiko yang terjadi dengan tindakanku memberi buku dan mendatangkan inspirasi itu musti ku pertanggung-jawabkan. Kubilang ke Abah, “Sanggup.”
Aku seperti disuruh bertanggung-jawab karena menghamili gadis, Bem. Haha.. Dunia si sekitar kita memang terbalik-balik. Bahkan kalau kita pergi berdua naik motor, aku yang di depan dan kau –yang selalu terlihat lebih feminin dariku—membonceng di belakangku. Anehnya, aku selama itu merasa nyaman-nyaman saja.
Hari-hari setelah kau membaca buku itu, memang kurasakan betul perubahanmu, menjadi makin feminin. Makin kemayu. Tak apa Bem, kau tetap kuterima dengan kondisi apapun. Apalagi jika aku menyaksikan dirimu yang melakukan semua pekerjaan dengan sepenuh hati, dan tak kenal lelah hingga kadang aku musti ingatkanmu untuk istirahat ketika pekerjaan sedang banyak. Namun kau tetap selalu melakukan semua pekerjaan yang sudah kau rencanakan dengan tuntas. Bahkan kadang minta ke mbak Erna yang membuat jadwal, untuk ikut berjualan pula. Kau bilang untuk hiburan ngeceng liat Mas-Mas (Kau memang pesolek. Kau siapkan dirimu untuk digoda Mas-Mas dengan berdandan habis-habisan). Hehe..dasar.




Selamat Jalan, Bem…
Akhirnya Bem, kalau kau lihat foto-foto ini sekarang, ku hanya ingin agar kau tahu bahwa kuharap kubisa tinggalkan jejak di dunia ini dengan memuntahkan sedikit sesak hatiku karena kehilanganmu. Juga karena kebersamaan denganmu. Semoga kau bisa melihatnya, apapun dan bagaimanapun caranya. Sehingga mereka yang membaca tulisanku ini bisa merasakan ikatan kita, menghargaimu dan menyayangi dirimu dan orang orang sepertimu, seperti yang telah kurasakan selama ini terhadapmu.
Bem, beristirahatlah dengan tenang, dalam kedamaian. Karena kini saatnya bagimu untuk ambil cuti panjang. Kami pun tak lama lagi akan menyusulmu, mengambil jatah cuti panjang juga…

2 komentar:

  1. hiks...bener2 kisah yang luar biasa. Aku baca ini pas lagi tepar jadi berasa banget....

    btw, aku ngomen di sini aja yo...lagi gak mood ngefbe

    BalasHapus
  2. Selalu terkenang "mas Bembi"

    BalasHapus