Sahabat, banyak orang yang mengaku mursyid, merasa mursyid, atau dianggap mursyid. Tapi yang teramat sulit adalah mencari mursyid yang sesungguhnya, yang tugas kelahirannya memang sebagai seorang mursyid, seorang yang memang bermisi hidup sebagai mursyid dan telah dibekali Allah dengan Ruh Al-Quds sebagai legitimasi ilahiyah atas tugasnya. Kita harus setiap saat memohon untuk diantarkannya ke ’seorang pemimpin yang dapat memberi petunjuk/wali mursyid’, sebagaimana QS 18: 17 menyebutkan,
“Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk. Dan barangsiapa yang disesatkanNya, maka kamu tak akan mendapatkan ‘Waliyyan Mursyida’ (seorang pemimpin yang dapat memberi petunjuk).”
Kita harus setiap saat memohon untuk ditunjuki-Nya kepada seorang ‘Waliyyan Mursyida’ ini.
Namun demikian, banyak orang yang ingin bertemu mereka, tapi setelah bertemu mereka justru berbondong-bondong berlari meninggalkannya. Kenapa? Karena bersama seorang mursyid memang tidak mudah. Dia akan memotong semua jalur-jalur perbudakan syahwat dan hawa nafsu pada diri kita. Dia akan mengajari dan memaksa kita untuk berani mengenal, mempelajari dan menguasai semua jenis hawa nasfu dan syahwat yang ada dalam diri kita sendiri. Dia akan memaksa kita untuk murni bergantung pada Allah, bahkan bukan bergantung pada dirinya sebagai mursyid. Itu adalah tugasnya.
Karena dengan terkuasainya seluruh balatentara syahwat dan hawa nafsu kita, maka kalbu kita akan semakin bening, dan kita pun pada akhirnya akan mampu mendapatkan petunjuk dari qalb kita sendiri.
Memang dia akan menolong kita jika ‘terjepit’ dalam kehidupan, menjelaskan persoalan dengan gamblang, tapi bukan berarti memanjakan terus menerus. Dia tidak akan mendidik kita untuk menjadi orang yang tidak mau menghadapi persoalan, sedikit-sedikit menangis minta tolong pada mursyidnya. Dia akan memaksa kita untuk berani menghadapi persoalan, karena dengan demikian kita akan mengenal segala kekurangan diri yang perlu diperbaiki, mengenal dan menyempurnakan kelebihan diri yang ada, menghadapi semua hawa nafsu dan syahwat (misalnya: rasa takut, cemas, inferior, bangga, sombong, iri, minder, tidak percaya diri, dan sebagainya) demi untuk mengenal segala aspek dalam diri kita sendiri (’arafa nafsahu), supaya kelak kita bisa mengenal Rabb kita (’arafa rabbahu).
Maka dari itu, bermursyid bukan seperti datang ke pengajian sekali seminggu. Menghilangkan kepenatan dan kemumetan, mencari kesejukan sesaat, buka dan sekedar menghafal Al-Qur’an, setelah lega kembali ke kehidupan masing-masing. Bukan pula untuk berorganisasi, berharap dapat mengembangkan potensi diri demi karir di sana. Juga bukan seperti dukun, minta doa supaya sukses, minta amalan, dan semacam itulah. Bukan juga datang ke sana untuk bersosialisasi, mencari kelompok maupun kegiatan saja.
Bermursyid itu, bukan pula seperti ke pasar. Ingin membeli pencerahan, ingin membeli keajaiban, ingin membeli maqom ataupun pencapaian spiritual. Tapi begitu malam tiba, semua pembeli pergi ke rumah masing-masing dan kembali kepada kenyamanan tempat tidurnya di rumah, lupa pada perjuangan penyucian diri.
Demikian pula, jangan bermursyid pada orang yang mengangkat kita sebagai murid karena kita memiliki ‘potensi’ manfaat untuk dirinya, bisnisnya, partai politiknya, maupun organisasinya. Ini guru yang ‘berbisnis’, karena orang seperti ini, jika ia ingin susu maka ia akan mencari sapi untuk dipelihara.
Hubungan dengan mursyid itu tidak mudah, karena konsekuensinya adalah, setiap saat dimanapun kita berada, kita dituntut untuk bertaubat dan memperbaiki diri, sesuai Q.S. 5:39, bahwa Allah hanya menerima taubat dari orang-orang yang taubatnya dilanjutkan dengan memperbaiki dirinya.
“Dan barangsiapa bertaubat setelah melakukan kejahatan (menzalimi dirinya) dan kemudian memperbaiki dirinya, maka sesungguhnya Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun Lagi Maha Penyayang.” (Q.S. [5] : 39)
Sekali lagi, inilah rambu utama dari Al-Qur’an yang harus kita ikuti:
“Dan ikutilah orang-orang yang tiada minta balasan kepadamu; dan mereka adalah ‘muhtaduun’ (orang yang tetap diatas petunjuk)” Q.S. 36:21.
—Dicuplik dari: Tulisan lama, Januari 2004, Herry Mardian di http://suluk.blogsome.com/
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapusudah lama gak nulis lagi ya?
BalasHapusLuarbiasa sepertinya ini benar adanya dan ini yang sepertinya sedang kami dan saudara kami alami dan pelajari. Kok bisa nulis gini ya dari mana inspirasinya pak?
BalasHapusTapi maaf gambarnya kayaknya kurang pas untuk artikel dengan judul Mencari Mursyid.
BalasHapusJika pikiran kita dibatasi oleh perasaan semestinya yg kita harapkan....sepertinya yg menjadi kendala buat berani berbeda.
Hapus